Potensi tanaman obat (toga) di Indonesia memang besar. Bahkan, ada ribuan tumbuhan di negeri ini bisa digunakan untuk menyembuhkan penyakit kronis.
Peneliti Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Prihartini Widiyanti, misalnya, melalui risetnya berhasil mengembangkan jamu untuk penderita HIV/AIDS.
Jamu berbahan tanaman Gandarusa (Justicia gendarussa) tersebut diyakini bisa menggantikan obat antiretroviral yang memiliki banyak efek samping terhadap pasien HIV/AIDS.
Prihartini Widiyanti menjelaskan, hasil riset sejak 2008 yang ia lakukan bersama tim menunjukan tanaman Gandarusa yang berasal dari Papua terbukti aktif melawan replikasi atau perkembangbiakan HIV.
Ia menjelaskan, replikasi HIV diketahui sangat cepat, bahkan hingga mencapai 10 pangkat enam setiap hari.
“Hasil penelitian kami, Gandarusa memiliki efek menghambat enzim transkriptase yang berperan dalam perbanyakan virus (HIV). Kalau ditekan, enzim transkriptase dapat diminimalisir,” ujar Yanti, sapaan peneliti Institut of Tropical Desease (ITD) Unair itu, Sabtu 9 Mei 2015.
Yanti menjelaskan, penelitian awal Gandarusa lebih dahulu dilakukan koleganya sesama pengajar Unair, Bambang Prayogo. Menurut Yanti, Bambang mula-mula mengembangkan Gandarusa sebagai pil kontrasepsi untuk pria.
“Lalu kami membuat pohon riset. Mahasiswa Fakultas Farmasi kami dorong mengungkap bahwa tanaman ini bisa sebagai antiviral,” kata Yanti.
Penelitian Gandarusa sebagai anti-HIV/AIDS, menurut Yanti, kini sudah melewati fase uji laboratorium. Yanti berharap penelitian bisa berlanjut ke percobaan terhadap hewan agar bisa memenuhi standardisasi kategori obat.
Namun, menurut Yanti, ia dan tim menghadapi kendala karena hanya simpanse yang cocok untuk pengujian penelitian tersebut.
“Ada cara lain, yaitu tikus yang dikondisikan memiliki karakteristik manusia. Tapi itu tidak bisa di Indonesia. Cuma bisa di Amerika sama Perancis. Kita butuh dukungan finansial,” tutur Yanti.
Dengan alasan tersebut, menurut Yanti, ia dan tim memilih untuk mengaplikasikannya terlebih dahulu sebagai jamu.
Sejalan dengan itu, ia menuturkan, proses pengembangan akan terus dilakukan untuk mendapatkan hasil optimal. Saat ini, menurut dia, sudah ada perusahaan farmasi yang bersedia memproduksinya. (ase)
Peneliti Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Prihartini Widiyanti, misalnya, melalui risetnya berhasil mengembangkan jamu untuk penderita HIV/AIDS.
Jamu berbahan tanaman Gandarusa (Justicia gendarussa) tersebut diyakini bisa menggantikan obat antiretroviral yang memiliki banyak efek samping terhadap pasien HIV/AIDS.
Prihartini Widiyanti menjelaskan, hasil riset sejak 2008 yang ia lakukan bersama tim menunjukan tanaman Gandarusa yang berasal dari Papua terbukti aktif melawan replikasi atau perkembangbiakan HIV.
Ia menjelaskan, replikasi HIV diketahui sangat cepat, bahkan hingga mencapai 10 pangkat enam setiap hari.
“Hasil penelitian kami, Gandarusa memiliki efek menghambat enzim transkriptase yang berperan dalam perbanyakan virus (HIV). Kalau ditekan, enzim transkriptase dapat diminimalisir,” ujar Yanti, sapaan peneliti Institut of Tropical Desease (ITD) Unair itu, Sabtu 9 Mei 2015.
Yanti menjelaskan, penelitian awal Gandarusa lebih dahulu dilakukan koleganya sesama pengajar Unair, Bambang Prayogo. Menurut Yanti, Bambang mula-mula mengembangkan Gandarusa sebagai pil kontrasepsi untuk pria.
“Lalu kami membuat pohon riset. Mahasiswa Fakultas Farmasi kami dorong mengungkap bahwa tanaman ini bisa sebagai antiviral,” kata Yanti.
Penelitian Gandarusa sebagai anti-HIV/AIDS, menurut Yanti, kini sudah melewati fase uji laboratorium. Yanti berharap penelitian bisa berlanjut ke percobaan terhadap hewan agar bisa memenuhi standardisasi kategori obat.
Namun, menurut Yanti, ia dan tim menghadapi kendala karena hanya simpanse yang cocok untuk pengujian penelitian tersebut.
“Ada cara lain, yaitu tikus yang dikondisikan memiliki karakteristik manusia. Tapi itu tidak bisa di Indonesia. Cuma bisa di Amerika sama Perancis. Kita butuh dukungan finansial,” tutur Yanti.
Dengan alasan tersebut, menurut Yanti, ia dan tim memilih untuk mengaplikasikannya terlebih dahulu sebagai jamu.
Sejalan dengan itu, ia menuturkan, proses pengembangan akan terus dilakukan untuk mendapatkan hasil optimal. Saat ini, menurut dia, sudah ada perusahaan farmasi yang bersedia memproduksinya. (ase)